Sabtu, 15 Januari 2011

Pernikahan di Jepang


Keindahan negara jepang terkenal hingga ke ujung dunia, apalagi negeri yang menyandang julukan Negri Sakura ini masih memegang budaya dan tradisi yang diwarisi turun-temurun oleh nenek moyang mereka sejak berabad-abad lalu seperti, upacara minum teh, hari anak laki-laki, upacara pernikahan dan masih banyak lainya. Diantara semuanya, upacara pernikahan merupakan peristiwa terpenting di dalam sejarah kehidupan orang Jepang.
  

Meskipun Jepang dikenal sebagai negeri yang berteknologi canggih dengan masyarakat yang sangat modern, orang Jepang tetap mempunyai kesadaran untuk berkeluarga serta tetap taat pada adat istiadat warisan leluhur. Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di kuil dengan sistem Budha atau Shinto.
  
Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara pernikahan dengan cara yang Modern, yaitu menikah dengan cara agama Kristen di gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tapi yang menikahkan keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka yang tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat dekat.
  
Orang Jepang memang menyukai berbagai perayaan serta trend, buktinya perayaan pernikahan yang paling diminati oleh setiap pasangan yang akan menikah saat ini berupa upacara pernikahan di atas kapal pesiar. Pengucapan janji nikah dihadapan kapten kapal serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat ini memakan biaya hanya sekitar ¥ 6.000.000 dengan mempelai wanita yang mengenakan gaun pengantin ala barat serta sang pria yang mengenakan busana bak kapten kapal. Pernikahan tradisional Jepang sendiri saat ini masih ada yang melakukan khususnya mereka yang tinggal di pelosok pedesaan, dimana penduduknya masih memegang teguh adat istiadat warisan nenek moyang yang sudah dilakukan secara turun temurun.
  
Seperti juga yang terjadi di belahan dunia lainnya saat ini jarang pasangan Jepang yang menikah pada usia muda, karena setelah menamatkan pendidikan mereka mulai memikirkan karir setelah itu baru pernikahan. Usia menikah untuk pria rata-rata di atas 28 tahun, sedangkan wanita di atas usia 26 tahun dan kebanyakan dari mereka akan menikah ketika usia sudah menginjak sebuah kemapanan. Uniknya para wanita Jepang rata-rata menginginkan pria-pria yang sudah memenuhi syarat 3T untuk dijadikan pendamping, yaitu tinggi badan, tinggi pendidikan, dan tinggi pendapatan.
  
Nah bagi mereka yang terlalu disibukkan oleh pekerjaan hingga sempat sejenak melupakan soal jodoh, tentu kesulitan untuk mencari pasangan pendamping. Untuk itu apabila usia mereka sudah cukup mapan untuk menikah, mereka akan mencari jodoh lewat acara-acara perkenalan yang sering diadakan di negara yang terletak di sebelah timur Asia. Biasanya, jika si pria merasa tertarik dengan seorang wanita, ia akan meminta untuk menjadi temannya. Selanjutnya bila ada kecocokan diantara keduanya dapat dilanjutkan kejenjang pernikahan.
  
Seperti Masami Uehara, seorang pria Jepang berusia 42 tahun bekerja sebagai pekerja bangunan yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan dengan Megumu Nagato, wanita Jepang berusia 28 tahun. Mereka berdua sudah lama saling mengenal sejak Megumu berusia 17 tahun,jadi mereka sudab kenal 11 tahun. Uehara sendiri adalah seorang pria yang sangat menyukai anak-anak dan mencintai adat istiadat Jepang serta sering menyanyikan lagu-lagu rakyat, seperti Kiyari, lagu yang sering dinyanyikan oleh pekerja kasar. Mereka berdua sangat mencintai kebudayaan Jepang sehingga menginginkan pernikahannya dengan gaya tradisional Jepang diiringi dengan lagu-lagu Kiyari, karena Uehara adalah seorang pekerja kasar. Sebelum upacara pernikahan dilangsungkan, Uehara meminta izin kepada ayah Nagato. Apabila orang tua dari pihak wanita sudah menyetujui, maka segera dicarikan hari baik. sebab di Jepang ada kalender yang menerangkan mana hari baik dan mana hari buruk.
  
Untuk suatu acara penting seperti pernikahan, hari baik sangat mempengaruhi. Sehingga umumnya bulan-bulan yang sering dipakai orang untuk menikah adalah bulan Juni, atau pada musim semi dan musim gugur. Hari yang ditentukan pun tiba, keduanya terlihat anggun mengenakan busana tradisional adat jepang. Megumu Nagato, sang mempelai wanita terlihat cantik dengan Kimono putihnya, yang berarti suci, disebut juga Shiromuku. Rambut mempelai wanita disanggul dan dihiasi dengan bermacam-macam perhiasan, lalu ditutup dengan Tsuno Kakushi atau kerudung. Sedangkan mempelai pria terlihat gagah dalam balutan Hakama hitam, yaitu busana tradisional adat Jepang untuk pria.
  
Kedua mempelai diantar keluarga, teman dan kerabat bersama sama pergi ke kuil yaitu Kuil Meiji Jingu lalu melaksanakan upacara ritual pernikahan tradisional agama Shinto. Setelah seluruh keluarga, teman, dan kerabat berkumpul, kedua pengantin berdiri ditengah tengah diiringi dengan lagu tradisional kiyari. Pendeta kemudian melaporkan kepada dewa, bahwa kedua pasangan ini akan menikah lalu berdoa untuk para orang-orang tua yang sudah meninggal.
     
Pengantin pria membaca sumpah perkawinan kepada pengantin wanita, Lalu kedua pengantin minum anggur sebanyak tiga kali kemudian diulang lagi tiga kali. Di hadapan Dewa kedua pengantin mengucapkan janji nikah, disaksikan keluarga, teman dan kerabat, sgera setelah itu dilanjutkan dengan resepsi. Pada acara ini, kedua pengantin sudah berganti busana, yaitu busana ala barat. Tersedia juga minuman khas sake yang menandakan keluarga mereka bersatu serta hidangan untuk para tamu, dengan posisi tamu kehormatan biasanya diisi oleh pimpinan tempat pengantin pria bekerja.